Krisis Kualitas Pendidikan di Indonesia

Pendidikan di Indonesia, seperti yang kita ketahui, masih menghadapi berbagai tantangan.

PENDIDIKAN

byte

4/1/20253 min read

grayscale photography of teacher standing near chalkboard and children sitting on chairs
grayscale photography of teacher standing near chalkboard and children sitting on chairs

Krisis Kualitas Pendidikan di Indonesia : Sebuah Renungan

Pendidikan di Indonesia, seperti yang kita ketahui, masih menghadapi berbagai tantangan. Meskipun terdapat sejumlah upaya perbaikan, sayangnya kemajuan yang terjadi cenderung minim dan tidak berkelanjutan. Bahkan, dalam beberapa aspek, kualitas pendidikan justru mengalami penurunan dari tahun ke tahun. Ini adalah kenyataan pahit yang seharusnya menjadi perhatian serius, mengingat pendidikan seharusnya menjadi fondasi utama dalam pembangunan suatu bangsa.

Rendahnya Kualitas Tenaga Pengajar

Salah satu penyebab utama rendahnya kualitas pendidikan di Indonesia adalah kualitas tenaga pengajar itu sendiri. Peneliti Bank Dunia, Rythia Afkar, menyampaikan bahwa berdasarkan survei pada tahun 2020, kompetensi guru di Indonesia tergolong rendah. Hal ini terungkap dalam rilis survei Bank Dunia terkait learning loss akibat pandemi COVID-19 selama 1,5 tahun terakhir.

Rythia menyebutkan bahwa performa guru Indonesia, berdasarkan hasil penelitian mereka, berada di level yang cukup rendah, baik dari segi kemampuan mengajar maupun kompetensi dasar. Fakta ini seharusnya menjadi bahan evaluasi serius bagi sistem pendidikan kita.

Masalah Kesejahteraan Guru

Salah satu faktor yang turut menyumbang rendahnya kualitas guru adalah tingkat kesejahteraan yang masih sangat minim. Profesi guru belum menjadi pekerjaan yang dianggap bergengsi, sehingga tidak banyak yang benar-benar bercita-cita menjadi guru sejak awal.

Banyak mahasiswa yang mengambil program studi pendidikan sebagai pilihan kedua, bukan berdasarkan minat yang tulus. Akibatnya, banyak calon guru yang akhirnya menjalani profesinya tanpa bekal semangat, kompetensi, dan keinginan untuk terus berkembang.

Padahal, bagaimana mungkin seseorang yang memiliki tanggung jawab untuk mendidik generasi penerus bangsa tidak memiliki kualitas dan kompetensi yang layak?

Urgensi Meningkatkan Kesejahteraan

Peningkatan kesejahteraan tenaga pengajar harus menjadi prioritas utama. Jika guru-guru di Indonesia diberikan gaji dan tunjangan yang layak, profesi ini akan menjadi lebih menarik, sehingga persaingan menjadi sehat dan kualitas guru pun meningkat.

Di negara-negara maju, profesi guru sangat dihargai dan menjadi pilihan utama banyak orang. Tingginya penghargaan terhadap guru juga diiringi dengan tingginya kompetensi dan kualitas mereka.

Dampak Guru yang Tidak Kompeten

Guru yang tidak memiliki kompetensi memadai akan menghambat proses belajar-mengajar. Metode mengajar yang monoton dan tidak menarik hanya akan membuat siswa kehilangan minat belajar. Selain itu, guru yang tidak mampu menciptakan suasana kelas yang kreatif dan kritis tidak akan mampu menumbuhkan semangat belajar siswa.

Data dari Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek) menunjukkan bahwa skor kompetensi akademik guru masih tergolong rendah. Berikut adalah gambaran singkat:

  • Guru PNS Sarjana: 51,43 poin

  • Guru Tetap Yayasan Sarjana: 52,82 poin

  • Guru Honorer Daerah Sarjana: 48,21 poin

  • Guru Tidak Tetap (GTT) Sarjana: 49,19 poin

  • Guru PNS Non-Sarjana: 41,45 poin

  • Guru Tetap Yayasan Non-Sarjana: 46 poin

  • Guru Honorer Daerah Non-Sarjana: 41,92 poin

  • GTT Non-Sarjana: 42,63 poin

Angka-angka ini tentu tidak menggambarkan kualitas guru secara keseluruhan karena belum mencakup kompetensi sosial. Namun, tetap saja ini menjadi peringatan akan pentingnya peningkatan kompetensi akademik tenaga pengajar.

Kekurangan Guru dan Kurangnya Minat Menjadi Pengajar

Indonesia juga tengah mengalami krisis jumlah guru. Menurut Unifah, terdapat kekurangan sekitar 1,3 juta guru. Rendahnya minat menjadi tenaga pengajar bisa ditelusuri ke akar masalah yang telah disebutkan sebelumnya: kesejahteraan rendah, kurangnya penghargaan, dan stigma terhadap profesi guru.

Siswa saat ini membutuhkan sosok guru yang mampu mendorong mereka untuk belajar secara mandiri dan kreatif. Tanpa guru-guru yang adaptif dan bersemangat, sangat sulit menciptakan generasi masa depan yang unggul.

Budaya Mengajar yang Tidak Fleksibel

Salah satu masalah lain dalam sistem pengajaran adalah kurangnya ruang untuk kritik dari siswa. Banyak guru yang menolak kritik dan menganggap dirinya selalu benar. Budaya seperti ini menciptakan jarak antara siswa dan guru serta menghambat proses evaluasi pengajaran.

Jika guru bersedia mendengar masukan dari siswanya, mereka bisa memperbaiki metode pengajaran dan menciptakan lingkungan belajar yang lebih menyenangkan dan kompetitif.

Stigma Historis yang Harus Dipatahkan

Secara historis, guru dianggap sebagai figur yang tidak boleh dikritik bahkan dikatakan berada "di atas raja". Stigma ini masih terbawa hingga sekarang dan menjadi penghalang dalam upaya membangun sistem pendidikan yang terbuka dan dinamis. Sudah saatnya kita patahkan stigma ini demi kemajuan pendidikan di Indonesia.

Harapan untuk Masa Depan Pendidikan

Saya berharap para tenaga pengajar, khususnya guru honorer, bisa mendapatkan kesejahteraan yang layak. Profesi guru adalah profesi yang sangat penting dan krusial dalam membentuk masa depan bangsa. Sudah seharusnya profesi ini diperlakukan dengan penghargaan, tanggung jawab, dan keseriusan yang tinggi.

Masa depan pendidikan Indonesia sangat ditentukan oleh kualitas guru. Dan kualitas guru akan meningkat jika kita mulai dari memperbaiki sistem, meningkatkan kesejahteraan, serta menghapus stigma lama yang menghambat perubahan.